Monday 23 September 2013

Jumlah Perokok Muda Kian Meningkat

JAN29

Kalangan perokok tidak pernah kehilangan anggota baru karena selalu ada perokok pemula. Bahkan belakangan, tren itu terus meningkat.


Ini kesimpulan dari paparan tren peningkatan perokok di kalangan remaja. "Kecenderungan ini memprihatinkan," kata Ekowati Rahajeng, Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, kepada media pada Jumat 25 Mei 2012 di Kementerian Kesehatan, Jakarta.


Dalam paparan itu tergambar peningkatan konsumsi rokok pada kalangan muda. Jika pada 1995, perokok remaja (usia 15-19 tahun) adalah tujuh persen dari populasi, pada 2010 jumlahnya meroket menjadi 19 persen.


Begitu juga dengan para perokok di kalangan anak-anak (10-14 tahun). Pada 1995, jumlah perokok anak sekitar 71 ribu. Pada 2010, jumlahnya melompat menjadi sekitar 425 ribu. Dengan kata lain, jumlah perokok anak naik enam kali lipat dalam 15 tahun terakhir.


"Adanya peningkatan konsumsi rokok akan mengancam bonus demografi," kata Abdillah Ahsan, peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, yang juga memberikan paparan dalam acara itu.


Bonus demografi adalah keadaan yang terjadi, jumlah penduduk produktif lebih besar ketimbang mereka yang tidak produktif. Sederhananya, tiga orang bekerja hanya untuk menanggung satu orang. "Kesempatan ini hanya terjadi satu kali dalam sejarah suatu penduduk," kata Abdillah dalam kesempatan yang sama.


Bonus demografi ini akan terjadi di Indonesia pada 2020-2030. Saat berakhir, proporsi penduduk lanjut usia akan mulai meningkat. Itu artinya, beban ketergantungan penduduk tidak produktif terhadap penduduk produktif akan naik.


Sementara itu, beban ekonomi akibat peningkatan perokok menjadi ancaman terhadap bonus demografi. Masifnya konsumsi rokok juga terlihat dari besarnya proporsi rumah tangga di Indonesia yang memiliki pengeluaran untuk rokok.


Pada 2009, sebanyak 7 dari 10 rumah tangga membelanjakan uangnya untuk rokok. Yang menyedihkan, rumah tangga termiskin juga terperangkap dalam konsumsi rokok. Sebanyak 6 dari 10 rumah tangga termiskin memiliki pengeluaran untuk membeli rokok.


"Pengeluaran untuk rokok hanya lebih kecil dari makanan pokok dan pengeluaran ini mengalahkan 23 jenis pengeluaran lainnya ," kata Abdillah.


Dari segi medis, merokok menjadi faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular. "Hampir 60 persen kematian di Indonesia diakibatkan oleh penyakit tidak menular," ujar Ekowati.


Efek merokok, kata doktor bidang epidemiologi dari Universitas Indonesia ini, memang tidak menimbulkan kematian seketika. Penyakit akibat merokok sifatnya kronis dan pengaruhnya kumulatif yang akan mulai dirasakan pada usia dewasa.


Panen penyakit akibat merokok di antaranya stroke, penyakit jantung, kanker, dan paru-paru. Saat ini di Indonesia terdapat 300 ribu kematian per tahun yang diakibatkan oleh rokok.


Akumulasi faktor ekonomi dan medis akibat merokok tentu akan sangat merugikan di masa yang akan datang. Karena itu, Abdillah meminta pemerintah segera bertindak tegas untuk membatasi peningkatan konsumsi rokok ini.


Caranya, melarang iklan rokok, sponsorship, promosi, maupun corporate social responsibility rokok. Pemberlakuan kawasan tanpa rokok juga harus diperketat.


Hal lainnya adalah meningkatkan cukai hasil tembakau ke tingkat maksimal, yakni 57 persen dari harga jual eceran, merevisi Undang-Undang Cukai dengan menaikkan tingkat cukai maksimal menjadi 70 persen dari harga jual eceran sesuai dengan rekomendasi World Health Organization, dan menaikkan PPN rokok dari 8,4 persen menjadi 10 persen seperti barang-barang lainnya.


"Rekomendasi lainnya adalah segera tetapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tembakau menjadi Peraturan Pemerintah dan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control untuk menunjukkan komitmen pemerintah pada perlindungan kesehatan masyarakat," ujar Abdillah.


 


View the original article here

0 comments:

Post a Comment