Saturday 23 June 2012

Ibu Hamil, Gamelan Lebih Mutlak Dibanding Mozart

JAN29

Usia kehamilan Ambar Hariani, 36 tahun, baru masuk hitungan bulan saat mendampingi suaminya yang bertugas di negeri panser, Jerman. Warga Tebet yang berprofesi sebagai dokter gigi itu tinggal di sebuah apartemen di kota sebelah barat daya Jerman, Karlsruhe. Ada perasaan canggung yang ia alami kala itu. Penguasaannya yang minim akan bahasa Jerman membuat ia cenderung menutup diri ketika berinteraksi dengan orang-orang sekitar.


Janin yang dikandung Ambar kini tumbuh menjadi balita, namanya Imam Abdul Karim. Saat ini, Imam memiliki dua adik kandung, Fathin dan Balqis. Namun dibandingkan dengan kedua adiknya, Imam merupakan tipikal anak yang pendiam dan sulit berinteraksi dengan rekan-rekan di sekitarnya. Bahkan acapkali menangis. “Anak saya yang pertama tidak berani tampil. Cengeng kalau bertemu dengan orang yang baru ia kenal,” ujar ibu tiga anak tersebut.


Berbeda dengan Imam, karakter Fathin, tiga tahun, tergolong anak yang periang. Ia mudah berbaur dengan rekan-rekan seusianya. Tidak terkecuali dengan orang yang lebih dewasa darinya. Fathin memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Cara berkomunikasinya pun lancar dan mudah dipahami. “Anak saya yang kedua dikandung saat saya sudah dua tahun di Jerman dan sudah bisa berbaur dengan orang-orang sekitar,” katanya.


Perbedaan karakter kedua anaknya itu sempat membuat Ambar berpikir akan masa-masa kehamilannya dulu. Muncul pertanyaan: “Apakah proses kehamilan seseorang mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak?” Anggapan Ambar tidak keliru! Sejumlah penelitian mendukung kesimpulannya, yaitu bahwa proses yang dialami seorang ibu saat hamil ternyata berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter seorang anak.


Kepala Subbidang Kesehatan Intelegensia Anak, Kementerian Kesehatan, Gunawan Bambang Dwiyanto, menjelaskan bahwa perilaku ibu hamil merupakan salah satu faktor yang merangsang pertumbuhan otak pada janin. Karena rasa sedih, stres, riang maupun kondisi kejiwaan yang lain pada ibu hamil, akhirnya akan dirasakan juga oleh janin yang ia kandung. “Kecerdasan seorang anak diturunkan oleh ibu, bukan bapak,” ujarnya.


Menurut Gunawan, peran ibu menjadi sangat sentral lantaran proses pertumbuhan janin tidak pernah lepas dari kondisi tubuh seorang ibu. Berdasarkan fase pertumbuhannya, kata Gunawan, janin mulai bisa merasakan rangsangan di usia 20 bulan ke atas. Pada usia kehamilan 39 bulan, kondisi otak janin mengalami fase kritis karena cenderung mengalami penurunan. “Jadi harus dirangsang supaya cerdas lagi,” ujarnya.


Rangsangan perkembangan otak pada janin bisa dilakukan ibu atau ayah dengan mengelus perut. Sentuhan tersebut merupakan ungkapan kasih sayang yang bisa meningkatkan pembentukan hormon cinta atau yang disebut oxytocin. Tidak hanya itu. Ibu hamil juga bisa melatih kemampuan verbal sang janin dengan mengajaknya berbicara disegala aktivitas, baik saat mandi, makan atau menjelang tidur. “Ibu hamil harus cerewet,” ujarnya.


Rangsangan otak sang janin juga bisa dilakukan dengan mengenalkan bahasa Tuhan, baik yang terkandung dalam Al-Qur’an maupun kidung lain menurut ajaran agama masing-masing. Dalam Islam, kata Gunawan, setidaknya terdapat lima yang dinilai mampu merangsang otak anak dengan baik. Kelimanya adalah surat Ar Rahman, Yusuf, Maryam, Al Ikhlas, dan Al Fatihah. “Prinsipnya janin menyenangi gelombang akustik yang berada di kisaran 5000-8000 hertz,” katanya.


Karena alasan itu jugalah sejumlah penelitian menyarankan agar ibu hamil mulai membiasakan janin memperdengarkan belasan lagu klasik karya Mozart. Sejumlah ilmuwan di Barat menyakini bahwa lagu-lagu seperti Twinkle-twinkle Little Star dapat membentuk watak seorang anak agar menjadi pribadi yang lembut, santun, dan periang. Lagu tersebut akan efektif jika diperdengarkan dalam keadaan hening menjelang jam tidur malam.


Namun penelitian lain menyatakan bahwa pengaruh musik Mozart tidaklah bersifat mutlak. Penelitian yang dilakukan Bilawa Respati, mahasiswa ITB, menunjukkan bahwa rangsangan akustik juga bisa dilakukan dengan memperdengarkan musik-musik tradisional lain seperti gamelan atau karawitan dengan level suara yang tepat. “Kalau muzik Mozart diperdengarkan keras-keras, efeknya juga tidak bagus,” kata dia.


 


View the original article here



0 comments:

Post a Comment